Kamis, 06 Juni 2013

BAB 9, 10, & 11

BAB 9 - PERLINDUNGAN KONSUMEN

1.       Pengertian Konsumen
Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Sedangkan perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen.

2.       Azaz dan Tujuan
a.    Azaz perlindungan konsumen           
Asas-asas yang dianut sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 UU Perlindungan Konsumen adalah:
·         Asas manfaat
Asas ini mengandung makna bahwa penerapan UU PK harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada kedua pihak, konsumen dan pelaku usaha. Sehingga tidak ada satu pihak yang kedudukannya lebih tinggi dibanding pihak lainnya. Kedua belah pihak harus memperoleh hak-haknya.
·         Asas keadilan
Penerapan asas ini dapat dilihat di Pasal 4 – 7 UU PK yang mengatur mengenai hak dan kewajiban konsumen serta pelaku usaha. Diharapkan melalui asas ini konsumen dan pelaku usaha dapat memperoleh haknya dan menunaikan kewajibannya secara seimbang.
·         Asas keseimbangan
Melalui penerapan asas ini, diharapkan kepentingan konsumen, pelaku usaha serta pemerintah dapat terwujud secara seimbang, tidak ada pihak yang lebih dilindungi.
·         Asas keamanan dan keselamatan konsumen
Diharapkan penerapan UU PK akan memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
·         Asas kepastian hukum
Dimaksudkan agar baik konsumen dan pelaku usaha mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hokum

b.   Tujuan perindungan konsumen
Sesuai dengan pasal 3 Undang-undang Perlindungan Konsumen bertujuan untuk, yaitu :
·         Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri
·         Mengangakat derajat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkan pemakaian barang atau jasa yang negative
·         Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan barang atau jasa dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen
·         Menciptakan sistem perlindungan yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi
·         Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan ini sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha
·         Meningkatkan barang atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen.

3.       Hak dan Kewajiban Konsumen
a.    Hak-hak Konsumen
Sesuai dengan Pasal 4 Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK), Hak-hak
Konsumen adalah :
·         Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa
·         Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan
·         Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa
·         Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan
·         Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut
·         Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen
·         Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif
·         Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi/penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya
·         Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

b.      Kewajiban Konsumen
Sesuai dengan Pasal 5 Undang-undang Perlindungan Konsumen, Kewajiban Konsumen adalah :
·         Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan
·         Beretikat baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa
·         Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati
·         Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

4.       Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha

a.    Sesuai dengan UU  pasal 6 Perlindungan Konsumen ,Hak pelaku usaha adalah:
·         hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan
·          hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik
·         hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen
·         hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan / atau jasa yang diperdagangkan
·         hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

b.   Sesuai dengan UU  pasal 7 Perlindungan Konsumen ,Kewajiban pelaku usaha adalah:
·         beretikat  baik dalam melakukan kegiatan usahanya
·          memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan pcnggunaan, perbaikan dan pemeliharaan
·          memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif
·         menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku
·         memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan
·         memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan
·         memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

5.       Perbuatan yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha
Dalam pasal 8 sampai dengan pasal 17 undang-undang nomor 8 tahun 1999 ,mengatur perbuatan hukum yang dilarang bagi pelaku usaha larangan dalam memproduksi atau memperdagangkan ,larangan dalam menawarkan ,larangan-larangan dalam penjualan secara obral/lelang ,dan dimanfaatkan dalam ketentuan periklanan.

a.    larangan dalam memproduksi/memperdagangkan.
Pelaku usaha dilarang memproduksi atau memperdagangkan barang atau jasa, misalnya :
·         tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
·         tidak sesuai dengan berat isi bersih atau neto
·         tidak sesuai dengan ukuran , takaran, timbangan, dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya
·         tidak sesuai denga kondisi, jaminan, keistimewaan sebagaimana dinyatakan dalam label, etika , atau keterangan barang atau jasa tersebut
·         tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label
·         tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal
·         tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat barang, ukuran , berat isi atau neto

b.   larangan dalam menawarkan/memproduksi
Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan suatu barang atau jasa secara tidak benar atau seolah-olah :
·         barang tersebut telah memenuhi atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu
·         Barang tersebut dalam keadaan baik/baru
·         Barang atau jasa tersebut telah mendapat atau memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu
·         Dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan, atau afiliasi
·         Barang atau jasa tersebut tersedia
·         Tidak mengandung cacat tersembunyi
·         Kelengkapan dari barang tertentu
·         Berasal dari daerah tertentu
·         Secara langsun g atau tidak merendahkan barang atau jasa lain
·         Menggunakan kata-kata yang berlebihan seperti aman, tidak berbahaya , atau efek sampingan tanpa keterangan yang lengkap
·         Menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.

c.    larangan dalam penjualan secara obral/lelang
Pelaku usaha dalam penjualan yang dilakukan melalui cara obral atau lelang , dilarang mengelabui / menyesatkan konsumen, antara lain :
·         menyatakan barang atau jasa tersebut seolah-olah telah memenuhi standar tertentu
·         Tidak mengandung cacat tersembunyi
·         Tidak berniat untuk menjual barang yang ditawarkan melainkan dengan maksud menjual barang lain
·         Tidak menyedian barang dalam jumlah tertentu atau jumlah cukup dengan maksud menjual barang yang lain.

d.    larangan dalam periklanan
Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan , misalnya :
·         mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan, dan harga mengenai atau tarif jasa, serta ketepatan waktu penerimaan barang jasa
·         Mengelabui jaminan/garansi terhadap barang atau jasa
·         Memuat informasi yang keliru, salah atau tidak tepat mengenai barang atau jasa
·         Tidak memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang atau jasa
·         Mengeksploitasi kejadian atau seseorang tanpa seizing yang berwenang atau persetujuan yang bersangkutan
·         Melanggar etika atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai periklanan.


6.       Klausa Baku dalam Perjanjian
Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan / atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen, klausula Baku aturan sepihak yang dicantumkan dalam kuitansi, faktur / bon, perjanjian atau dokumen lainnya dalam transaksi jual beli tidak boleh merugikan konsumen.
Di dalam pasal 18 undang-undang nomor 8 tahun 1999, pelaku usaha dalam menawarkann barang dan jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantunkan klausula baku pada setiap dokumen atau perjanjian, antara lain :
·         menyatakan pengalihan tanggungn jawab pelaku usaha
·         menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen
·         pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang atau jasa yang di beli konsumen
·         pemberian klausa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli konsumen secara angsuran
·         mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau manfaat jasa yang dibeli oleh konsumen
·         memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa.

Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara terlihat atau tidak dapat dibaca seacra jelas atau yang pengungkapannya sulit dimengerti sebagai konsekuensinya setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha dalam dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana di atas telah dinaytakan batal demi hukum. Oleh karena itu , pelaku usaha diwajibkan untuk menyesuaikan klausula baku yang dibuatnya yang bertentangan dengan undang-undang.


7.       Tanggung Jawab Pelaku Usaha

Tanggung jawab pelaku usaha sebagaimana sudah di atur dalam UU Perlindungan Konsumen pada pasal 24-pasal 28 yang berisi sebagai berikut :
·         Pasal 24
(1) Pelaku usaha yang menjual barang dan/atau jasa kepada pelaku usaha lain bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila :
a. pelaku usaha lain menjual kepada konsumen tanpa melakukan perubahan apa pun atas barang dan/atau jasa tersebut
b.pelaku usaha lain, didalam transaksi jual beli tidak mengetahui adanya perubahan barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh pelaku usaha atau tidak sesuai dengan contoh, mutu, dan komposisi
(2) Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebaskan dari tanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha lain yang membeli barang dan/atau jasa menjual kembali kepada konsumen dengan melakukan perubahan atas barang dan/atau jasa tersebu.
·         Pasal 25
(1) Pelaku usaha yang memproduksi barang yang pemanfaatannya berkelanjutan dalam batas waktu sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun wajib menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas purna jual dan wajib memenuhi jaminan atau garansi sesuai dengan yang diperjanjikan
(2) Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha tersebut :
a. tidak menyediakan atau lalai menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas perbaikan
b. tidak memenuhi atau gagal memenuhi jaminan atau garansi yang diperjanjikan.
·         Pasal 26 Pelaku usaha yang memperdagangkan jasa wajib memenuhi jaminan dan/atau garansi yang disepakati dan/atau yang diperjanjikan.
·         Pasal 27 Pelaku usaha yang memproduksi barang dibebaskan dan tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen, apabila :
a. barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksudkan untuk diedarkan
b. cacat barang timbul pada kemudian hari
c. cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang;
d. kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen
e. lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang dibeli atau lewat jangka waktu yang diperjanjikan
·         Pasal 28 Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha.

8.       Sanksi
Sanksi Bagi Pelaku Usaha Menurut Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
a.      Sanksi Perdata
Ganti rugi dalam bentuk :      
o   Pengembalian uang
o   Penggantian barang
o   Perawatan kesehatan
o   Pemberian santunan

Ganti rugi diberikan dalam tenggang waktu 7 hari setelah tanggal transaksi
Sanksi Administrasi : maksimal Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah), melalui BPSK jika melanggar Pasal 19 ayat (2) dan (3), 20, 25

  
b.      Sanksi Pidana :
·         Kurungan :

·         Penjara, 5 tahun, atau denda Rp. 2.000.000.000 (dua milyar rupiah) (Pasal 8, 9, 10, 13 ayat (2), 15, 17  ayat (1) huruf a, b, c, dan e dan Pasal 18
·         Penjara, 2 tahun, atau denda Rp.500.000.000 (lima ratus juta rupiah) (Pasal 11, 12, 13 ayat (1), 14, 16 dan 17 ayat (1) huruf d dan f

c.       Ketentuan pidana lain (di luar Undang-undang No. 8 Tahun. 1999 tentang Perlindungan Konsumen) jika konsumen luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian.

d.      Hukuman tambahan , antara lain :

·         Pengumuman keputusan Hakim
·         Pencabuttan izin usaha
·         Dilarang memperdagangkan barang dan jasa
·         Wajib menarik dari peredaran barang dan jasa
·         Hasil Pengawasan disebarluaskan kepada masyarakat . 



BAB 10 – ANTI MONOPILO DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

1.    Pengertian
Monopoli murni adalah bentuk organisasi pasar dimana terdapat perusahaan tunggal yang menjual komoditi yang tidak mempunyai subtitusi sempurna. Perusahaan itu sekaligus merupakan industri dan menghadapi kurva permintaan industri yang memiliki kemiringan negatif untuk komoditi itu.

“Antitrust” untuk pengertian yang sepadan dengan istilah “anti monopoli” atau istilah “dominasi” yang dipakai masyarakat Eropa yang artinya juga sepadan dengan arti istlah “monopoli” Disamping itu terdapat istilah yang artinya hampir sama yaitu “kekuatan pasar”. Dalam praktek keempat kata tersebut, yaitu istilah “monopoli”, “antitrust”, “kekuatan pasar” dan istilah “dominasi” saling dipertukarkan pemakaiannya.

UU No. 5 Tahun 1999 tentang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat mengatur kegiatan bisnis yang baik dalam arti tidak merugikan pelaku usaha lain. Monopoli tidak dilarang dalam ekonomi pasar, sejauh dapat mematuhi “rambu-rambu” atau aturan hukum persaingan yang sehat. Globalisasi ekonomi menyebabkan setiap negara di dunia harus “rela” membuka pasar domestik dari masuknya produk barang/jasa negara asing dalam perdagangan dan pasar bebas. Keadaan ini dapat mengancam ekonomi nasional dan pelanggaran usaha, apabila para pelaku usaha melakukan perbuatan tidak terpuji. 

2.    Azas dan Tujuan
a.      Azas
Pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.

b.   Tujuan
Yang terkandung di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, adalah sebagai berikut:
·         Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat
·         Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat, sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil
·         Mencegah praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha
·         Terciptanya efektifitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.

3.    Kegiatan yang dilarang
a.       Monopoli
Adalah penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa
tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha

b.      Monopsoni
Adalah situasi pasar dimana hanya ada satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha yang menguasai pangsa pasar yang besar yang bertindak sebagai pembeli tunggal,sementara pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha yang bertindak sebagai penjual jumlahnya banyak.

c.       Penguasaan pasar
Di dalam UU no.5/1999 Pasal 19,bahwa kegiatan yang dilarang dilakukan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya penguasaan pasar yang merupakan praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat yaitu :
·         menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar yang bersangkutan
·         menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya
·         membatasi peredaran dan atau penjualan barang dan atau jasa pada pasar bersangkutan
·         melakukan praktik diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.

d.      Persekongkolan Adalah bentuk kerjasama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol (pasal 1 angka 8 UU No.5/1999).

e.      Posisi Dominan Artinya pengaruhnya sangat kuat, dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menyebutkan posisi dominan merupakan suatu keadaan dimana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa yang dikuasai atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi diantara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan, penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan dan permintaan barang atau jasa tertentu.

f.        Jabatan Rangkap
Dalam Pasal 26 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dikatakan bahwa seorang yang menduduki jabatan sebagai direksi atau komisaris dari suatu perusahaan, pada waktu yang bersamaan dilarang merangkap menjadi direksi atau komisaris pada perusahaan lain.

g.       Pemilikan Saham
Berdasarkan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dikatakan bahwa pelaku usaha dilarang memiliki saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis, melakukan kegiatan usaha dalam bidang sama pada saat bersangkutan yang sama atau mendirikan beberapa perusahaan yang sama.

h.      Penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan
Dalam Pasal 28 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, mengatakan bahwa pelaku usaha yang berbadan hukum maupun yang bukan berbadan hukum yang menjalankan perusahaan bersifat tetap dan terus menerus dengan tujuan mencari keuntungan.

4.    Perjanjian yang dilarang
Perjanjian yang dilarang dalam UU No.5/1999 tersebut adalah perjanjian dalam bentuk sebgai berikut :
·         Oligopoli
Adalah keadaan pasar dengan produsen dan pembeli barang hanya berjumlah sedikit, sehingga mereka atau seorang dari mereka dapat mempengaruhi harga pasar.
·         Penetapan harga
Dalam rangka penetralisasi pasar, pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, antara lain :
Ø  Perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama.
Ø  Perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan atau jasa yang sama
Ø  Perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga di bawah harga pasar
Ø  Perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya dengan harga lebih rendah daripada harga yang telah dijanjikan.

·         Pembagian wilayah
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa.
·         Pemboikotan
Pelaku usaha dilarang untuk membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri.
·         Kartel
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa.
·         Trust
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup tiap-tiap perusahaan atau perseroan anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa.
·         Oligopsoni
Keadaan dimana dua atau lebih pelaku usaha menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan/atau jasa dalam suatu pasar komoditas.
·         Integrasi vertical
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengelolaan atau proses lanjutan baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung.
·         Perjanjian tertutup
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau pada tempat tertentu.
·         Perjanjian dengan pihak luar negeri
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

5.    Hal-hal yang dikecualikan dalam UU Anti Monpoli
Di dalam Undang-Undang Anti Monopoli Nomor 5 Tahun 1999,terdapat hal-hal yang dikecualikan,yaitu :
a.      Pasal 50
·         perbuatan dan atau perjanjian yang bertujuan melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku
·         perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual seperti lisensi, paten, merek dagang, hak cipta, desain produk industri, rangkaian elektronik terpadu, dan rahasia dagang, serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba
·         perjanjian penetapan standar teknis produk barang dan atau jasa yang tidak mengekang dan atau menghalangi persaingan
·         perjanjian dalam rangka keagenan yang isinya tidak memuat ketentuan untuk memasok kembali barang dan atau jasa dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan
·         perjanjian kerja sama penelitian untuk peningkatan atau perbaikan standar hidup masyarakat luas
·         perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia
·         perjanjian dan atau perbuatan yang bertujuan untuk ekspor yang tidak mengganggu kebutuhan dan atau pasokan pasar dalam negeri
·         pelaku usaha yang tergolong dalam usaha kecil
·         kegiatan usaha koperasi yang secara khusus bertujuan untuk melayani anggotanya.

b.      Pasal 51
Monopoli dan atau pemusatan kegiatan yang berkaitan dengan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak serta cabang-cabang produksi yang penting bagi negara diatur dengan undang-undang dan diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara dan atau badan atau lembaga yang dibentuk atau ditunjuk oleh Pemerintah.

6.    Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU)
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adalah sebuah lembaga independen di Indonesia yang dibentuk untuk memenuhi amanat Undang-Undang no. 5 tahun 1999 tentang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

KPPU menjalankan tugas untuk mengawasi tiga hal pada UU tersebut:
·         Perjanjian yang dilarang, yaitu melakukan perjanjian dengan pihak lain untuk secara bersama-sama mengontrol produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa yang dapat menyebabkan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat seperti perjanjian penetapan harga, diskriminasi harga, boikot, perjanjian tertutup, oligopoli, predatory pricing, pembagian wilayah, kartel, trust (persekutuan), dan perjanjian dengan pihak luar negeri yang dapat menyebabkan persaingan usaha tidak sehat.
·         Kegiatan yang dilarang, yaitu melakukan kontrol produksi dan/atau pemasaran melalui pengaturan pasokan, pengaturan pasar yang dapat menyebabkan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.
·         Posisi dominan, pelaku usaha yang menyalahgunakan posisi dominan yang dimilikinya untuk membatasi pasar, menghalangi hak-hak konsumen, atau menghambat bisnis pelaku usaha lain.

Dalam pembuktian, KPPU menggunakan unsur pembuktian per se illegal, yaitu sekedar membuktikan ada tidaknya perbuatan, dan pembuktian rule of reason, yang selain mempertanyakan eksistensi perbuatan juga melihat dampak yang ditimbulkan.
Keberadaan KPPU diharapkan menjamin hal-hal berikut di masyarakat:
·         Konsumen tidak lagi menjadi korban posisi produsen sebagai price taker
·         Keragaman produk dan harga dapat memudahkan konsumen menentukan pilihan
·         Efisiensi alokasi sumber daya alam
·         Konsumen tidak lagi diperdaya dengan harga tinggi tetapi kualitas seadanya, yang lazim ditemui pada pasar monopoli
·         Kebutuhan konsumen dapat dipenuhi karena produsen telah meningkatkan kualitas dan layanannya
·         Menjadikan harga barang dan jasa ideal, secara kualitas maupun biaya produksi
·         Membuka pasar sehingga kesempatan bagi pelaku usaha menjadi lebih banyak
·         Menciptakan inovasi dalam perusahaan

7.    Sanksi
Pasal 36 UU Anti Monopoli, salah satu wewenang KPPU adalah melakukan penelitian, penyelidikan dan menyimpulkan hasil penyelidikan mengenai ada tidaknya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Masih di pasal yang sama, KPPU juga berwenang menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar UU Anti Monopoli. Apa saja yang termasuk dalam sanksi administratif diatur dalam Pasal 47 Ayat (2) UU Anti Monopoli. Meski KPPU hanya diberikan kewenangan menjatuhkan sanksi administratif, UU Anti Monopoli juga mengatur mengenai sanksi pidana. Pasal 48 menyebutkan mengenai pidana pokok. Sementara pidana tambahan dijelaskan dalam Pasal 49.
a.      Pasal 48
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4, Pasal 9 sampai dengan Pasal 14, Pasal 16 sampai dengan Pasal 19, Pasal 25, Pasal 27, dan Pasal 28 diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp100.000.000.000 (seratus miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 6 (enam) bulan.
(2) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 5 sampai dengan Pasal 8, Pasal 15, Pasal 20 sampai dengan Pasal 24, dan Pasal 26 Undang-Undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp5.000.000.000 ( lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupialh), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 5 (lima) bulan.
(3) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41 Undang-undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp5.000.000.000 (lima miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 3 (tiga) bulan.
b.      Pasal 49
Dengan menunjuk ketentuan Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, terhadap pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 48 dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa:
·         pencabutan izin usaha; atau
·         larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap undang-undang ini untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan selama-lamanya 5 (lima) tahun; atau
·         penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnva kerugian pada pihak lain.
Aturan ketentuan pidana di dalam UU Anti Monopoli menjadi aneh lantaran tidak menyebutkan secara tegas siapa yang berwenang melakukan penyelidikan atau penyidikan dalam konteks pidana.


BAB 11 – PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI

1. Pengertian sengketa
Sengketa berarti pertentangan atau konflik, Konflik berarti adanya oposisi atau pertentangan antara orang-orang, kelompok-kelompok, atau organisasi-organisasi terhadap satu objek permasalahan. Senada dengan itu Winardi mengemukakan :
Pertentangan atau konflik yang terjadi antara individu-individu atau kelompok-kelompok yang mempunyai hubungan atau kepentingan yang sama atas suatu objek kepemilikan, yang menimbulkan akibat hukum antara satu dengan yang lain.

2.  Cara-cara penyelesaian sengketa

a.      Negosiasi (Perundingan)
Perundingan merupakan pertukaran pandangan dan usul-usul antara dua pihak untuk menyelesaikan suatu persengketaan, tidak melibatkan pihak ketiga, dan diantara keduanya tidak ada lagi berselisih paham setelah mendapatkan keputusan penyelesaian sengketanya, serta keduanya saling menerima kesepakatan yang diambil tanpa ada paksaan dari pihak manapun, dimana keduanya tidak ada yang merasa dirugikan.

b.      Equiry (Penyelidikan)
Penyelidikan dilakukan oleh pihak ketiga yang tidak memihak keduanya dimaksud untuk
mencari fakta. Hal ini bisa kita sebut misalnya melalui kepolisian, dimana akan dikupas tuntas, diselidiki hingga ketemu akar masalahnya. Dan fakta yang benar itulah yang benar dan harus diterima oleh kedua belah pihak.
Selain itu, contoh yang bisa kita ambil adalah dalam sengketa perebutan anak. Dimana siapa yang menjadi orang tua kandungnya. Hal ini bisa meminta pihak ketiga(pihak rumah sakit) untuk melakukan tes DNA. Dimana hasil yang keluar dari pihak rumah sakit menjadi bukti dari sengketa tersebut yang kemudian untuk dijadikan penyelesaiannya.

c.       Good Offices (Jasa-jasa baik)
Pihak ketiga dapat menawarkan jasa-jasa baik jika pihak yang bersengketa tidak dapat menyelesaikan secara langsung persengketaan yang terjadi diantara mereka. Bisa kita ambil contoh kedua pihak yang bersengketa sudah tidak bisa mengatasi masalahnya atau sudah  bosan menghadapinya, oleh karena itu mereka menggunakan jasa seperti pengacara. Dalam hal ini pihak yang bersengketa memberikan kuasa kepada jasa yang dipercaya untuk menyelesaikan sengketa tersebut. Sering kita sebut pengacara. Dimana pengacara mencari bukti kebenaran yang memihak kepada yang memberi perintah namun tetap mematuhi peraturan undang-undang yang berlaku. Selain itu juga bisa kita ambil contoh, klien atau yang bersengketa misalkan saja mengurus atau menyelesaikan kasusnya ke dinas pemerintahan yang mengurus masalah hak milik tanah dan bangunan. Disini pemerintah akan berusaha untuk mencari kebenaran yang ada tanpa menyembunyikan fakta sekecil apapun. Hasil yang dicapai tentu harus diterima kedua pihak yang bersengketa.

3. Negosiasi
Negosiasi adalah sebuah bentuk interaksi sosial saat pihak - pihak yang terlibat berusaha untuk saling menyelesaikan tujuan yang berbeda dan bertentangan. Menurut kamus Oxford, negosiasi adalah suatu cara untuk mencapai suatu kesepakatan melalui diskusi formal.
Negosiasi merupakan suatu proses saat dua pihak mencapai perjanjian yang dapat memenuhi kepuasan semua pihak yang berkepentingan dengan elemen-elemen kerjasama dan kompetisi. Termasuk di dalamnya, tindakan yang dilakukan ketika berkomunikasi, kerjasama atau memengaruhi orang lain dengan tujuan tertentu. Contoh kasus mengenai negosiasi, seperti Christopher Columbus meyakinkan Ratu Elizabeth untuk membiayai ekspedisinya saat Inggris dalam perang besar yang memakan banyak biaya atau sengketa Pulau Sipadan-Ligitan - pulau yang berada di perbatasan Indonesia dengan Malaysia - antara Indonesia dengan Malaysia

a.       Proses Negosiasi
§  Pihak yang memiliki program (pihak pertama) menyampaikan maksud dengan kalimat santun, jelas, dan terinci
§  Pihak mitra bicara menyanggah mitra bicara dengan santun dan tetap menghargai maksud pihak pertama
§  Pemilik program mengemukakan argumentasi dengan kalimat santun dan meyakinkan mitra bicara disertai dengan alasan yang logis
§  terjadi pembahasan dan kesepakatan terlaksananya program/ maksud negosiasi.

b.      Negosiasi dan lobi
Dalam advokasi terdapat dua bentuk, yaitu formal dan informal. Bentuk formalnya,negosiasi sedangkan bentuk informalnya disebut lobi. Proses lobi tidak terikat oleh waktu dan tempat, serta dapat dilakukan secara terus-menerus dalam jangka waktu panjang sedangkan negosiasi tidak, negosiasi terikat oleh waktu dan tempat.

c.       Kemampuan-kemampuan dasar bernegosiasi
Faktor yang paling berpengaruh dalam negosiasi adalah filosofi yang menginformasikan bahwa masing-masing pihak yang terlibat. ini adalah kesepakatan dasar kita bahwa "semua orang menang", filsafat ini menjadi dasar setiap negosiasi. Kunci untuk mengembangkan filsafat supaya "semua orang menang" adalah dengan mempertimbangkan setiap aspek negosiasi dari sudut pandang pada pihak lain dan pihak negosiator.

d.      Keterampilan - keterampilan dasar
Berikut ini, adalah keterampilan -keterampilan dasar dalam bernegosiasi :
§  Ketajaman pikiran / kelihaian
§  Sabar
§  Kemampuan beradaptasi
§  Daya tahan
§  Kemampuan bersosialisasi
§  Konsentrasi
§  Kemampuan berartikulasi
§  Memiliki selera humor
4. Mediasi
Mediasi merupakan salah satu alternatif penyelesaian sengketa sebagai terobosan atas cara-cara penyelesaian tradisional melalui litigation (berperkara di pengadilan). Mediasi berarti menengahi atau penyelesaian sengketa melalui penengah (mediator). Peran dan fungsi mediator adalah membantu para pihak mencari jalan keluar atas penyelesaian yang mereka sengketakan. Penyelesaian yang hendak diwujudkan dalam mediasi adalah compromise atau kompromi di antara kedua pihak. Dalam mencari kompromi, mediator memperingatkan, jangan sampai salah satu pihak cenderung untuk mencari kemenangan.

            Mediasi bertujuan untuk mencapai kompromi yang maksimal. sedangkan kompromi sendiri, kedua pihak sama-sama menang atau win-win, oleh karena itu tidak ada pihak yang kalah atau losing dan tidak ada yang menang mutlak.

Manfaat yang paling menonjol, antara lain:
·         Penyelesaian cepat terwujud (quick).
·         Biaya Murah (inexpensive)
·         Bersifat Rahasia (confidential)
·         Bersifat Fair dengan Metode Kompromi
·         Hubungan kedua belah pihak kooperatif
·         Hasil yang dicapai WIN-WIN
·         Tidak Emosional.

5.    Arbitrase
Arbitrase secara umum dapat dilakukan dalam penyelesaian sengketa publik maupun perdata, namun dalam perkembangannya arbitrase lebih banyak dipilih untuk menyelesaikan sengketa kontraktual (perdata). Sengketa perdata dapat digolongkan menjadi:
·         Quality arbitration, yang menyangkut permasalahan faktual (question of fact) yang dengan sendirinya memerlukan para arbiter dengan kualifikasi teknis yang tinggi.
·         Technical arbitration, yang tidak menyangkut permasalahan faktual, sebagaimana halnya dengan masalah yang timbul dalam dokumen (construction of document) atau aplikasi ketentuan-ketentuan kontrak.
·         Mixed arbitration, sengketa mengenai permasalahan faktual dan hukum (question of fact and law).

6.    Perbandingan antara perundingan ,arbitrase dan ligilitas

a.      Negosiasi atau perundingan
Negosiasi adalah cara penyelesaian sengketa dimana para pihak yang bersengketa saling melakukan kompromi untuk menyuarakan kepentingannya. Dengan cara kompromi tersebut diharapkan akan tercipta win-win solution dan akan mengakhiri sengketa tersebut secara baik.

b.      Ligitasi
Litigasi adalah sistem penyelesaian sengketa melalui lembaga peradilan. Sengketa yang terjadi dan diperiksa melalui jalur litigasi akan diperiksa dan diputus oleh hakim. Melalui sistem ini tidak mungkin akan dicapai sebuah win-win solution (solusi yang memperhatikan kedua belah pihak) karena hakim harus menjatuhkan putusan dimana salah satu pihak akan menjadi pihak yang menang dan pihak lain menjadi pihak yang kalah.
Kebaikan dari sistem ini adalah:
·         Ruang lingkup pemeriksaannya yang lebih luas
·         Biaya yang relatif lebih murah 
Sedangkan kelemahan dari sistem ini adalah kurangnya kepastian hokum Hakim yang “awam”

c.       Arbitrase
Arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa yang mirip dengan litigasi, hanya saja litigasi ini bisa dikatakan sebagai “litigasi swasta” Dimana yang memeriksa perkara tersebut bukanlah hakim tetapi seorang arbiter. Untuk dapat menempuh prosesi arbitrase hal pokok yang harus ada adalah “klausula arbitrase” di dalam perjanjian yang dibuat sebelum timbul sengketa akibat perjanjian tersebut, atau “Perjanjian Arbitrase” dalam hal sengketa tersebut sudah timbul namun tidak ada klausula arbitrase dalam perjanjian sebelumnya. Klausula arbitrase atau perjanjian arbitrase tersebut berisi bahwa para pihak akan menyelesaikan sengketa melalui arbitrase sehingga menggugurkan kewajiban pengadilan untuk memeriksa perkara tersebut. Jika perkara tersebut tetap diajukan ke Pengadilan maka pengadilan wajib menolak karena perkara tersebut sudah berada di luar kompetensi pengadilan tersebut akibat adanya klausula arbitrase atau perjanjian arbitrase.
Beberapa keunggulan arbitrase dibandingkan litigasi antara lain:
·         Arbitrase relatif lebih terpercaya karena Arbiter dipilih oleh para pihak yang bersengketa
·         Arbiter merupakan orang yang ahli di bidangnya sehingga putusan yang dihasilkan akan lebih cermat.
·         Kepastian Hukum lebih terjamin karena putusan arbitrase bersifat final dan mengikat para pihak.

Sedangkan kelemahannya antara lain:
·         Biaya yang relatif mahal karena honorarium arbiter juga harus ditanggung para pihak
·         Putusan Arbitrase tidak mempunyai kekuatan eksekutorial sebelum didaftarkan ke Pengadilan Negeri.
·         Ruang lingkup arbitrase yang terbatas hanya pada sengketa bidang komersial (perdagangan, ekspor-impor, pasar modal, dan sebagainya).




Sumber   :


Tidak ada komentar:

Posting Komentar