BAB 9 - PERLINDUNGAN KONSUMEN
1.
Pengertian Konsumen
Konsumen adalah setiap orang
pemakai barang dan/atau jasa
yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga,
orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Sedangkan perlindungan konsumen adalah segala upaya yang
menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen.
2.
Azaz dan Tujuan
a. Azaz perlindungan
konsumen
Asas-asas yang dianut sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2
UU Perlindungan Konsumen adalah:
·
Asas manfaat
Asas ini mengandung makna bahwa penerapan UU PK harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada kedua pihak, konsumen dan pelaku usaha. Sehingga tidak ada satu pihak yang kedudukannya lebih tinggi dibanding pihak lainnya. Kedua belah pihak harus memperoleh hak-haknya.
Asas ini mengandung makna bahwa penerapan UU PK harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada kedua pihak, konsumen dan pelaku usaha. Sehingga tidak ada satu pihak yang kedudukannya lebih tinggi dibanding pihak lainnya. Kedua belah pihak harus memperoleh hak-haknya.
·
Asas keadilan
Penerapan asas ini dapat dilihat di Pasal 4 – 7 UU PK yang mengatur mengenai hak dan kewajiban konsumen serta pelaku usaha. Diharapkan melalui asas ini konsumen dan pelaku usaha dapat memperoleh haknya dan menunaikan kewajibannya secara seimbang.
Penerapan asas ini dapat dilihat di Pasal 4 – 7 UU PK yang mengatur mengenai hak dan kewajiban konsumen serta pelaku usaha. Diharapkan melalui asas ini konsumen dan pelaku usaha dapat memperoleh haknya dan menunaikan kewajibannya secara seimbang.
·
Asas keseimbangan
Melalui penerapan asas ini, diharapkan kepentingan konsumen, pelaku usaha serta pemerintah dapat terwujud secara seimbang, tidak ada pihak yang lebih dilindungi.
Melalui penerapan asas ini, diharapkan kepentingan konsumen, pelaku usaha serta pemerintah dapat terwujud secara seimbang, tidak ada pihak yang lebih dilindungi.
·
Asas keamanan dan
keselamatan konsumen
Diharapkan penerapan UU PK akan memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
Diharapkan penerapan UU PK akan memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
·
Asas kepastian hukum
Dimaksudkan agar baik konsumen dan pelaku usaha mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hokum
Dimaksudkan agar baik konsumen dan pelaku usaha mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hokum
b. Tujuan perindungan konsumen
Sesuai dengan pasal 3
Undang-undang Perlindungan Konsumen bertujuan untuk, yaitu :
·
Meningkatkan
kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri
·
Mengangakat derajat dan
martabat konsumen dengan cara menghindarkan pemakaian barang atau jasa yang negative
·
Meningkatkan
pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan barang atau jasa dan menuntut
hak-haknya sebagai konsumen
·
Menciptakan sistem
perlindungan yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi
·
Menumbuhkan kesadaran
pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan ini sehingga tumbuh sikap yang
jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha
·
Meningkatkan barang
atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan jasa, kesehatan,
kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen.
3.
Hak dan Kewajiban Konsumen
a. Hak-hak Konsumen
Sesuai dengan Pasal 4
Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK), Hak-hak
Konsumen adalah :
·
Hak atas kenyamanan,
keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa
·
Hak untuk memilih
barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai
dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan
·
Hak atas informasi
yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa
·
Hak untuk didengar
pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan
·
Hak untuk mendapatkan
advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen
secara patut
·
Hak untuk mendapat pembinaan
dan pendidikan konsumen
·
Hak untuk
diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif
·
Hak untuk mendapatkan
kompensasi, ganti rugi/penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima
tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya
·
Hak-hak yang diatur
dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
b.
Kewajiban Konsumen
Sesuai dengan Pasal 5
Undang-undang Perlindungan Konsumen, Kewajiban Konsumen adalah :
·
Membaca atau
mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang
dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan
·
Beretikat baik dalam
melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa
·
Membayar sesuai
dengan nilai tukar yang disepakati
·
Mengikuti upaya
penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
4.
Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
a.
Sesuai
dengan UU pasal 6 Perlindungan Konsumen ,Hak pelaku usaha adalah:
·
hak untuk menerima
pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar
barang dan/atau jasa yang diperdagangkan
·
hak
untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak
baik
·
hak untuk melakukan
pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen
·
hak untuk
rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen
tidak diakibatkan oleh barang dan / atau jasa yang diperdagangkan
·
hak-hak yang diatur
dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
b.
Sesuai
dengan UU pasal 7 Perlindungan Konsumen ,Kewajiban pelaku usaha adalah:
·
beretikat baik
dalam melakukan kegiatan usahanya
·
memberikan
informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa serta memberi penjelasan pcnggunaan, perbaikan dan pemeliharaan
·
memperlakukan
atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif
·
menjamin mutu barang
dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan
standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku
·
memberi kesempatan
kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu
serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang
diperdagangkan
·
memberi kompensasi,
ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan
pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan
·
memberi kompensasi,
ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau
dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
5.
Perbuatan yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha
Dalam pasal 8 sampai
dengan pasal 17 undang-undang nomor 8 tahun 1999 ,mengatur perbuatan hukum yang
dilarang bagi pelaku usaha larangan dalam memproduksi atau memperdagangkan
,larangan dalam menawarkan ,larangan-larangan dalam penjualan secara
obral/lelang ,dan dimanfaatkan dalam ketentuan periklanan.
a. larangan dalam memproduksi/memperdagangkan.
Pelaku usaha dilarang
memproduksi atau memperdagangkan barang atau jasa, misalnya :
·
tidak memenuhi atau
tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan
·
tidak sesuai dengan
berat isi bersih atau neto
·
tidak sesuai dengan
ukuran , takaran, timbangan, dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang
sebenarnya
·
tidak sesuai denga
kondisi, jaminan, keistimewaan sebagaimana dinyatakan dalam label, etika , atau
keterangan barang atau jasa tersebut
·
tidak sesuai dengan
janji yang dinyatakan dalam label
·
tidak mengikuti
ketentuan berproduksi secara halal
·
tidak memasang label
atau membuat penjelasan barang yang memuat barang, ukuran , berat isi atau neto
b. larangan dalam menawarkan/memproduksi
Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan suatu barang
atau jasa secara tidak benar atau seolah-olah :
·
barang tersebut telah
memenuhi atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu
·
Barang tersebut dalam
keadaan baik/baru
·
Barang atau jasa
tersebut telah mendapat atau memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan
tertentu
·
Dibuat oleh perusahaan
yang mempunyai sponsor, persetujuan, atau afiliasi
·
Barang atau jasa
tersebut tersedia
·
Tidak mengandung
cacat tersembunyi
·
Kelengkapan dari
barang tertentu
·
Berasal dari daerah tertentu
·
Secara langsun g atau
tidak merendahkan barang atau jasa lain
·
Menggunakan kata-kata
yang berlebihan seperti aman, tidak berbahaya , atau efek sampingan tanpa
keterangan yang lengkap
·
Menawarkan sesuatu
yang mengandung janji yang belum pasti.
c. larangan dalam penjualan secara obral/lelang
Pelaku usaha dalam penjualan yang dilakukan melalui cara
obral atau lelang , dilarang mengelabui / menyesatkan konsumen, antara lain :
·
menyatakan barang
atau jasa tersebut seolah-olah telah memenuhi standar tertentu
·
Tidak mengandung
cacat tersembunyi
·
Tidak berniat untuk
menjual barang yang ditawarkan melainkan dengan maksud menjual barang lain
·
Tidak menyedian
barang dalam jumlah tertentu atau jumlah cukup dengan maksud menjual barang
yang lain.
d. larangan dalam periklanan
Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan ,
misalnya :
·
mengelabui konsumen
mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan, dan harga mengenai atau tarif
jasa, serta ketepatan waktu penerimaan barang jasa
·
Mengelabui
jaminan/garansi terhadap barang atau jasa
·
Memuat informasi yang
keliru, salah atau tidak tepat mengenai barang atau jasa
·
Tidak memuat
informasi mengenai risiko pemakaian barang atau jasa
·
Mengeksploitasi
kejadian atau seseorang tanpa seizing yang berwenang atau persetujuan yang
bersangkutan
·
Melanggar etika atau
ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai periklanan.
6.
Klausa Baku dalam Perjanjian
Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang
telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha
yang dituangkan dalam suatu dokumen dan / atau perjanjian yang mengikat dan
wajib dipenuhi oleh konsumen, klausula Baku aturan sepihak yang dicantumkan
dalam kuitansi, faktur / bon, perjanjian atau dokumen lainnya dalam transaksi
jual beli tidak boleh merugikan konsumen.
Di dalam pasal 18
undang-undang nomor 8 tahun 1999, pelaku usaha dalam menawarkann barang dan
jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantunkan
klausula baku pada setiap dokumen atau perjanjian, antara lain :
·
menyatakan pengalihan
tanggungn jawab pelaku usaha
·
menyatakan bahwa
pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen
·
pelaku usaha berhak
menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang atau jasa yang di
beli konsumen
·
pemberian klausa dari
konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk
melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli konsumen
secara angsuran
·
mengatur perihal
pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau manfaat jasa yang dibeli oleh
konsumen
·
memberi hak kepada
pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan
konsumen yang menjadi objek jual beli jasa.
Pelaku usaha dilarang
mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak
dapat dibaca secara terlihat atau tidak dapat dibaca seacra jelas atau yang
pengungkapannya sulit dimengerti sebagai konsekuensinya setiap klausula baku
yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha dalam dokumen atau perjanjian yang
memenuhi ketentuan sebagaimana di atas telah dinaytakan batal demi hukum. Oleh
karena itu , pelaku usaha diwajibkan untuk menyesuaikan klausula baku yang
dibuatnya yang bertentangan dengan undang-undang.
7.
Tanggung Jawab Pelaku Usaha
Tanggung jawab pelaku
usaha sebagaimana sudah di atur dalam UU Perlindungan Konsumen pada pasal
24-pasal 28 yang berisi sebagai berikut :
·
Pasal 24
(1)
Pelaku usaha yang menjual barang dan/atau jasa kepada pelaku usaha lain
bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila :
a. pelaku usaha lain menjual kepada konsumen tanpa melakukan
perubahan apa pun atas barang dan/atau jasa tersebut
b.pelaku usaha lain, didalam transaksi jual beli tidak
mengetahui adanya perubahan barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh pelaku
usaha atau tidak sesuai dengan contoh, mutu, dan komposisi
(2) Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dibebaskan dari tanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan
konsumen apabila pelaku usaha lain yang membeli barang dan/atau jasa menjual
kembali kepada konsumen dengan melakukan perubahan atas barang dan/atau jasa
tersebu.
·
Pasal 25
(1) Pelaku usaha yang memproduksi barang yang pemanfaatannya
berkelanjutan dalam batas waktu sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun wajib
menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas purna jual dan wajib memenuhi
jaminan atau garansi sesuai dengan yang diperjanjikan
(2) Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila
pelaku usaha tersebut :
a. tidak menyediakan
atau lalai menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas perbaikan
b. tidak memenuhi
atau gagal memenuhi jaminan atau garansi yang diperjanjikan.
·
Pasal 26 Pelaku usaha yang memperdagangkan jasa wajib memenuhi
jaminan dan/atau garansi yang disepakati dan/atau yang diperjanjikan.
·
Pasal 27 Pelaku usaha yang memproduksi barang dibebaskan dan
tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen, apabila :
a. barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau
tidak dimaksudkan untuk diedarkan
b. cacat barang
timbul pada kemudian hari
c. cacat timbul
akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang;
d. kelalaian yang
diakibatkan oleh konsumen
e. lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak
barang dibeli atau lewat jangka waktu yang diperjanjikan
·
Pasal 28 Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam
gugatan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23
merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha.
8.
Sanksi
Sanksi Bagi Pelaku Usaha Menurut Undang-undang No. 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen
a.
Sanksi Perdata
Ganti
rugi dalam bentuk :
o
Pengembalian uang
o
Penggantian barang
o
Perawatan kesehatan
o
Pemberian santunan
Ganti rugi diberikan
dalam tenggang waktu 7 hari setelah tanggal transaksi
Sanksi Administrasi : maksimal Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah), melalui BPSK jika melanggar Pasal 19 ayat (2) dan (3), 20, 25
Sanksi Administrasi : maksimal Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah), melalui BPSK jika melanggar Pasal 19 ayat (2) dan (3), 20, 25
b.
Sanksi Pidana :
·
Kurungan :
·
Penjara, 5 tahun,
atau denda Rp. 2.000.000.000 (dua milyar rupiah) (Pasal 8, 9, 10, 13 ayat (2),
15, 17 ayat (1) huruf a, b, c, dan e dan Pasal 18
·
Penjara, 2 tahun,
atau denda Rp.500.000.000 (lima ratus juta rupiah) (Pasal 11, 12, 13 ayat (1),
14, 16 dan 17 ayat (1) huruf d dan f
c.
Ketentuan pidana lain
(di luar Undang-undang No. 8 Tahun. 1999 tentang Perlindungan Konsumen) jika
konsumen luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian.
d.
Hukuman tambahan ,
antara lain :
·
Pengumuman keputusan
Hakim
·
Pencabuttan izin
usaha
·
Dilarang
memperdagangkan barang dan jasa
·
Wajib menarik dari
peredaran barang dan jasa
·
Hasil Pengawasan
disebarluaskan kepada masyarakat .
BAB 10 – ANTI MONOPILO DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK
SEHAT
1.
Pengertian
Monopoli murni adalah bentuk organisasi
pasar dimana terdapat perusahaan tunggal yang menjual komoditi yang tidak
mempunyai subtitusi sempurna. Perusahaan itu sekaligus merupakan industri dan
menghadapi kurva permintaan industri yang memiliki kemiringan negatif untuk
komoditi itu.
“Antitrust” untuk pengertian yang
sepadan dengan istilah “anti monopoli” atau istilah “dominasi” yang dipakai
masyarakat Eropa yang artinya juga sepadan dengan arti istlah “monopoli”
Disamping itu terdapat istilah yang artinya hampir sama yaitu “kekuatan pasar”.
Dalam praktek keempat kata tersebut, yaitu istilah “monopoli”, “antitrust”,
“kekuatan pasar” dan istilah “dominasi” saling dipertukarkan pemakaiannya.
UU No. 5 Tahun 1999 tentang larangan
praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat mengatur kegiatan bisnis yang
baik dalam arti tidak merugikan pelaku usaha lain. Monopoli tidak dilarang
dalam ekonomi pasar, sejauh dapat mematuhi “rambu-rambu” atau aturan hukum
persaingan yang sehat. Globalisasi ekonomi menyebabkan setiap negara di dunia
harus “rela” membuka pasar domestik dari masuknya produk barang/jasa negara
asing dalam perdagangan dan pasar bebas. Keadaan ini dapat mengancam ekonomi
nasional dan pelanggaran usaha, apabila para pelaku usaha melakukan perbuatan
tidak terpuji.
2.
Azas dan Tujuan
a.
Azas
Pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.
Pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.
b. Tujuan
Yang terkandung di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999,
adalah sebagai berikut:
·
Menjaga kepentingan
umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat
·
Mewujudkan iklim
usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat, sehingga
menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha
besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil
·
Mencegah praktik
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku
usaha
·
Terciptanya
efektifitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.
3.
Kegiatan yang dilarang
a.
Monopoli
Adalah penguasaan
atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa
tertentu oleh satu
pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha
b.
Monopsoni
Adalah situasi pasar dimana hanya ada satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha yang menguasai pangsa pasar yang besar yang bertindak sebagai pembeli tunggal,sementara pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha yang bertindak sebagai penjual jumlahnya banyak.
Adalah situasi pasar dimana hanya ada satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha yang menguasai pangsa pasar yang besar yang bertindak sebagai pembeli tunggal,sementara pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha yang bertindak sebagai penjual jumlahnya banyak.
c. Penguasaan
pasar
Di dalam UU no.5/1999 Pasal 19,bahwa kegiatan yang dilarang dilakukan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya penguasaan pasar yang merupakan praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat yaitu :
Di dalam UU no.5/1999 Pasal 19,bahwa kegiatan yang dilarang dilakukan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya penguasaan pasar yang merupakan praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat yaitu :
·
menolak dan atau menghalangi pelaku
usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar yang
bersangkutan
·
menghalangi konsumen atau pelanggan
pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku
usaha pesaingnya
·
membatasi peredaran dan atau penjualan
barang dan atau jasa pada pasar bersangkutan
·
melakukan praktik diskriminasi terhadap
pelaku usaha tertentu.
d.
Persekongkolan Adalah bentuk kerjasama
yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk
menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol
(pasal 1 angka 8 UU No.5/1999).
e. Posisi
Dominan Artinya pengaruhnya sangat kuat, dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 menyebutkan posisi dominan merupakan suatu keadaan dimana
pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam
kaitan dengan pangsa yang dikuasai atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi
diantara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan
keuangan, kemampuan akses pada pasokan, penjualan, serta kemampuan untuk
menyesuaikan pasokan dan permintaan barang atau jasa tertentu.
f.
Jabatan Rangkap
Dalam Pasal 26 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dikatakan bahwa seorang yang menduduki jabatan sebagai direksi atau komisaris dari suatu perusahaan, pada waktu yang bersamaan dilarang merangkap menjadi direksi atau komisaris pada perusahaan lain.
Dalam Pasal 26 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dikatakan bahwa seorang yang menduduki jabatan sebagai direksi atau komisaris dari suatu perusahaan, pada waktu yang bersamaan dilarang merangkap menjadi direksi atau komisaris pada perusahaan lain.
g. Pemilikan
Saham
Berdasarkan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dikatakan bahwa pelaku usaha dilarang memiliki saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis, melakukan kegiatan usaha dalam bidang sama pada saat bersangkutan yang sama atau mendirikan beberapa perusahaan yang sama.
Berdasarkan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dikatakan bahwa pelaku usaha dilarang memiliki saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis, melakukan kegiatan usaha dalam bidang sama pada saat bersangkutan yang sama atau mendirikan beberapa perusahaan yang sama.
h. Penggabungan,
peleburan, dan pengambilalihan
Dalam Pasal 28 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, mengatakan bahwa pelaku usaha yang berbadan hukum maupun yang bukan berbadan hukum yang menjalankan perusahaan bersifat tetap dan terus menerus dengan tujuan mencari keuntungan.
Dalam Pasal 28 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, mengatakan bahwa pelaku usaha yang berbadan hukum maupun yang bukan berbadan hukum yang menjalankan perusahaan bersifat tetap dan terus menerus dengan tujuan mencari keuntungan.
4.
Perjanjian yang dilarang
Perjanjian yang dilarang dalam UU No.5/1999 tersebut adalah
perjanjian dalam bentuk sebgai berikut :
·
Oligopoli
Adalah keadaan pasar dengan produsen dan pembeli barang
hanya berjumlah sedikit, sehingga mereka atau seorang dari mereka dapat
mempengaruhi harga pasar.
·
Penetapan harga
Dalam rangka penetralisasi pasar, pelaku usaha dilarang membuat
perjanjian, antara lain :
Ø Perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan
harga atas barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan
pada pasar bersangkutan yang sama.
Ø Perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang harus membayar
dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk
barang dan atau jasa yang sama
Ø Perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga
di bawah harga pasar
Ø Perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan
bahwa penerima barang dan atau jasa tidak menjual atau memasok kembali barang
dan atau jasa yang diterimanya dengan harga lebih rendah daripada harga yang
telah dijanjikan.
·
Pembagian wilayah
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha
pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar
terhadap barang dan atau jasa.
·
Pemboikotan
Pelaku usaha dilarang untuk membuat perjanjian dengan pelaku
usaha pesaingnya yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha
yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri.
·
Kartel
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha
pesaingnya yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan
atau pemasaran suatu barang dan atau jasa.
·
Trust
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha
lain untuk melakukan kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau
perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan
kelangsungan hidup tiap-tiap perusahaan atau perseroan anggotanya, yang
bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau
jasa.
·
Oligopsoni
Keadaan dimana dua atau lebih pelaku usaha menguasai
penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan/atau jasa dalam
suatu pasar komoditas.
·
Integrasi vertical
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha
lain yang bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk
dalam rangkaian produksi barang dan atau jasa tertentu yang mana setiap
rangkaian produksi merupakan hasil pengelolaan atau proses lanjutan baik dalam
satu rangkaian langsung maupun tidak langsung.
·
Perjanjian tertutup
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha
lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa
hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut
kepada pihak tertentu dan atau pada tempat tertentu.
·
Perjanjian dengan
pihak luar negeri
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak luar
negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
5.
Hal-hal yang dikecualikan dalam UU Anti Monpoli
Di dalam Undang-Undang Anti Monopoli
Nomor 5 Tahun 1999,terdapat hal-hal yang dikecualikan,yaitu :
a.
Pasal 50
·
perbuatan dan atau
perjanjian yang bertujuan melaksanakan peraturan perundang-undangan yang
berlaku
·
perjanjian yang
berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual seperti lisensi, paten, merek
dagang, hak cipta, desain produk industri, rangkaian elektronik terpadu, dan
rahasia dagang, serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba
·
perjanjian penetapan
standar teknis produk barang dan atau jasa yang tidak mengekang dan atau
menghalangi persaingan
·
perjanjian dalam
rangka keagenan yang isinya tidak memuat ketentuan untuk memasok kembali barang
dan atau jasa dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah
diperjanjikan
·
perjanjian kerja sama
penelitian untuk peningkatan atau perbaikan standar hidup masyarakat luas
·
perjanjian
internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia
·
perjanjian dan atau
perbuatan yang bertujuan untuk ekspor yang tidak mengganggu kebutuhan dan atau
pasokan pasar dalam negeri
·
pelaku usaha yang
tergolong dalam usaha kecil
·
kegiatan usaha
koperasi yang secara khusus bertujuan untuk melayani anggotanya.
b.
Pasal 51
Monopoli dan atau pemusatan kegiatan
yang berkaitan dengan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang
menguasai hajat hidup orang banyak serta cabang-cabang produksi yang penting
bagi negara diatur dengan undang-undang dan diselenggarakan oleh Badan Usaha
Milik Negara dan atau badan atau lembaga yang dibentuk atau ditunjuk oleh
Pemerintah.
6.
Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU)
Komisi Pengawas
Persaingan Usaha (KPPU) adalah sebuah
lembaga independen di Indonesia yang
dibentuk untuk memenuhi amanat Undang-Undang no. 5 tahun 1999 tentang larangan
praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
KPPU menjalankan
tugas untuk mengawasi tiga hal pada UU tersebut:
·
Perjanjian yang
dilarang, yaitu melakukan perjanjian dengan pihak lain untuk secara
bersama-sama mengontrol produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa yang
dapat menyebabkan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat
seperti perjanjian penetapan harga, diskriminasi harga, boikot, perjanjian tertutup, oligopoli, predatory pricing, pembagian
wilayah, kartel, trust
(persekutuan), dan perjanjian dengan pihak luar negeri yang dapat menyebabkan
persaingan usaha tidak sehat.
·
Kegiatan yang
dilarang, yaitu melakukan kontrol produksi dan/atau pemasaran melalui
pengaturan pasokan, pengaturan pasar yang dapat menyebabkan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak
sehat.
·
Posisi dominan,
pelaku usaha yang menyalahgunakan posisi dominan yang dimilikinya untuk
membatasi pasar, menghalangi hak-hak konsumen, atau menghambat bisnis pelaku
usaha lain.
Dalam pembuktian,
KPPU menggunakan unsur pembuktian per se illegal, yaitu sekedar
membuktikan ada tidaknya perbuatan, dan pembuktian rule of reason, yang
selain mempertanyakan eksistensi perbuatan juga melihat dampak yang
ditimbulkan.
Keberadaan KPPU
diharapkan menjamin hal-hal berikut di masyarakat:
·
Konsumen tidak lagi
menjadi korban posisi produsen sebagai price taker
·
Keragaman produk dan
harga dapat memudahkan konsumen menentukan pilihan
·
Efisiensi alokasi
sumber daya alam
·
Konsumen tidak lagi
diperdaya dengan harga tinggi tetapi kualitas seadanya, yang lazim ditemui pada
pasar monopoli
·
Kebutuhan konsumen
dapat dipenuhi karena produsen telah meningkatkan kualitas dan layanannya
·
Menjadikan harga
barang dan jasa ideal, secara kualitas maupun biaya produksi
·
Membuka pasar
sehingga kesempatan bagi pelaku usaha menjadi lebih banyak
·
Menciptakan inovasi
dalam perusahaan
7.
Sanksi
Pasal 36 UU Anti Monopoli, salah satu wewenang KPPU adalah
melakukan penelitian, penyelidikan dan menyimpulkan hasil penyelidikan mengenai
ada tidaknya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Masih di
pasal yang sama, KPPU juga berwenang menjatuhkan sanksi administratif kepada
pelaku usaha yang melanggar UU Anti Monopoli. Apa saja yang termasuk dalam
sanksi administratif diatur dalam Pasal 47 Ayat (2) UU Anti Monopoli. Meski
KPPU hanya diberikan kewenangan menjatuhkan sanksi administratif, UU Anti
Monopoli juga mengatur mengenai sanksi pidana. Pasal 48 menyebutkan mengenai
pidana pokok. Sementara pidana tambahan dijelaskan dalam Pasal 49.
a.
Pasal 48
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4, Pasal 9 sampai dengan Pasal 14, Pasal 16 sampai dengan Pasal 19, Pasal 25, Pasal 27, dan Pasal 28 diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp100.000.000.000 (seratus miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 6 (enam) bulan.
(2) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 5 sampai dengan Pasal 8, Pasal 15, Pasal 20 sampai dengan Pasal 24, dan Pasal 26 Undang-Undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp5.000.000.000 ( lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupialh), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 5 (lima) bulan.
(3) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41 Undang-undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp5.000.000.000 (lima miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 3 (tiga) bulan.
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4, Pasal 9 sampai dengan Pasal 14, Pasal 16 sampai dengan Pasal 19, Pasal 25, Pasal 27, dan Pasal 28 diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp100.000.000.000 (seratus miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 6 (enam) bulan.
(2) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 5 sampai dengan Pasal 8, Pasal 15, Pasal 20 sampai dengan Pasal 24, dan Pasal 26 Undang-Undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp5.000.000.000 ( lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupialh), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 5 (lima) bulan.
(3) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41 Undang-undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp5.000.000.000 (lima miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 3 (tiga) bulan.
b.
Pasal 49
Dengan menunjuk ketentuan Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, terhadap pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 48 dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa:
Dengan menunjuk ketentuan Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, terhadap pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 48 dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa:
·
pencabutan izin
usaha; atau
·
larangan kepada
pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap undang-undang
ini untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris sekurang-kurangnya 2 (dua)
tahun dan selama-lamanya 5 (lima) tahun; atau
·
penghentian kegiatan
atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnva kerugian pada pihak lain.
Aturan ketentuan pidana di dalam UU Anti Monopoli menjadi
aneh lantaran tidak menyebutkan secara tegas siapa yang berwenang melakukan
penyelidikan atau penyidikan dalam konteks pidana.
BAB 11 –
PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI
1. Pengertian
sengketa
Sengketa berarti
pertentangan atau konflik, Konflik berarti adanya oposisi atau pertentangan
antara orang-orang, kelompok-kelompok, atau organisasi-organisasi terhadap satu
objek permasalahan. Senada dengan itu Winardi mengemukakan :
Pertentangan atau konflik yang terjadi
antara individu-individu atau kelompok-kelompok yang mempunyai hubungan atau
kepentingan yang sama atas suatu objek kepemilikan, yang menimbulkan akibat
hukum antara satu dengan yang lain.
2. Cara-cara penyelesaian sengketa
a.
Negosiasi
(Perundingan)
Perundingan merupakan
pertukaran pandangan dan usul-usul antara dua pihak untuk menyelesaikan suatu
persengketaan, tidak melibatkan pihak ketiga, dan diantara keduanya tidak ada
lagi berselisih paham setelah mendapatkan keputusan penyelesaian sengketanya,
serta keduanya saling menerima kesepakatan yang diambil tanpa ada paksaan dari
pihak manapun, dimana keduanya tidak ada yang merasa dirugikan.
b.
Equiry (Penyelidikan)
Penyelidikan
dilakukan oleh pihak ketiga yang tidak memihak keduanya dimaksud untuk
mencari fakta. Hal ini bisa kita sebut
misalnya melalui kepolisian, dimana akan dikupas tuntas, diselidiki hingga
ketemu akar masalahnya. Dan fakta yang benar itulah yang benar dan harus
diterima oleh kedua belah pihak.
Selain itu, contoh
yang bisa kita ambil adalah dalam sengketa perebutan anak. Dimana siapa yang
menjadi orang tua kandungnya. Hal ini bisa meminta pihak ketiga(pihak rumah
sakit) untuk melakukan tes DNA. Dimana hasil yang keluar dari pihak rumah sakit
menjadi bukti dari sengketa tersebut yang kemudian untuk dijadikan
penyelesaiannya.
c.
Good Offices
(Jasa-jasa baik)
Pihak ketiga dapat
menawarkan jasa-jasa baik jika pihak yang bersengketa tidak dapat menyelesaikan
secara langsung persengketaan yang terjadi diantara mereka. Bisa kita ambil
contoh kedua pihak yang bersengketa sudah tidak bisa mengatasi masalahnya atau
sudah bosan menghadapinya, oleh karena itu mereka menggunakan jasa
seperti pengacara. Dalam hal ini pihak yang bersengketa memberikan kuasa kepada
jasa yang dipercaya untuk menyelesaikan sengketa tersebut. Sering kita sebut
pengacara. Dimana pengacara mencari bukti kebenaran yang memihak kepada yang
memberi perintah namun tetap mematuhi peraturan undang-undang yang berlaku.
Selain itu juga bisa kita ambil contoh, klien atau yang bersengketa misalkan
saja mengurus atau menyelesaikan kasusnya ke dinas pemerintahan yang mengurus
masalah hak milik tanah dan bangunan. Disini pemerintah akan berusaha untuk
mencari kebenaran yang ada tanpa menyembunyikan fakta sekecil apapun. Hasil
yang dicapai tentu harus diterima kedua pihak yang bersengketa.
3. Negosiasi
Negosiasi adalah sebuah bentuk interaksi sosial saat pihak - pihak
yang terlibat berusaha untuk saling menyelesaikan tujuan yang berbeda dan
bertentangan. Menurut kamus Oxford, negosiasi adalah suatu cara untuk mencapai
suatu kesepakatan melalui diskusi formal.
Negosiasi merupakan suatu proses saat
dua pihak mencapai perjanjian yang
dapat memenuhi kepuasan semua pihak yang berkepentingan dengan elemen-elemen
kerjasama dan kompetisi. Termasuk di dalamnya, tindakan
yang dilakukan ketika berkomunikasi, kerjasama atau memengaruhi orang lain
dengan tujuan tertentu. Contoh kasus mengenai negosiasi, seperti Christopher
Columbus meyakinkan Ratu
Elizabeth untuk membiayai ekspedisinya saat Inggris dalam perang besar yang memakan
banyak biaya atau sengketa Pulau
Sipadan-Ligitan - pulau yang berada di perbatasan Indonesia dengan
Malaysia - antara Indonesia dengan Malaysia
a.
Proses Negosiasi
§ Pihak yang memiliki program (pihak pertama) menyampaikan
maksud dengan kalimat santun, jelas, dan terinci
§ Pihak mitra bicara menyanggah mitra bicara dengan santun dan
tetap menghargai maksud pihak pertama
§ Pemilik program mengemukakan argumentasi dengan kalimat
santun dan meyakinkan mitra bicara disertai dengan alasan yang logis
§ terjadi pembahasan dan kesepakatan terlaksananya program/
maksud negosiasi.
b.
Negosiasi dan lobi
Dalam advokasi
terdapat dua bentuk, yaitu formal dan informal. Bentuk formalnya,negosiasi
sedangkan bentuk informalnya disebut lobi. Proses lobi tidak
terikat oleh waktu dan tempat, serta dapat dilakukan secara terus-menerus dalam
jangka waktu panjang sedangkan negosiasi tidak, negosiasi terikat oleh waktu
dan tempat.
c.
Kemampuan-kemampuan
dasar bernegosiasi
Faktor yang paling berpengaruh dalam negosiasi adalah filosofi yang menginformasikan bahwa
masing-masing pihak yang terlibat. ini adalah kesepakatan dasar kita bahwa
"semua orang menang", filsafat ini menjadi dasar setiap negosiasi.
Kunci untuk mengembangkan filsafat supaya
"semua orang menang" adalah dengan mempertimbangkan setiap aspek
negosiasi dari sudut pandang pada pihak lain dan pihak negosiator.
d.
Keterampilan -
keterampilan dasar
Berikut ini, adalah keterampilan -keterampilan dasar dalam
bernegosiasi :
§ Ketajaman pikiran / kelihaian
§ Sabar
§ Kemampuan beradaptasi
§ Daya tahan
§ Kemampuan bersosialisasi
§ Konsentrasi
§ Kemampuan berartikulasi
§ Memiliki selera humor
4. Mediasi
Mediasi merupakan
salah satu alternatif penyelesaian sengketa sebagai terobosan atas cara-cara
penyelesaian tradisional melalui litigation (berperkara di pengadilan). Mediasi
berarti menengahi atau penyelesaian sengketa melalui penengah (mediator). Peran
dan fungsi mediator adalah membantu para pihak mencari jalan keluar atas
penyelesaian yang mereka sengketakan. Penyelesaian yang hendak diwujudkan dalam
mediasi adalah compromise atau kompromi di antara kedua pihak. Dalam mencari
kompromi, mediator memperingatkan, jangan sampai salah satu pihak cenderung
untuk mencari kemenangan.
Mediasi bertujuan untuk mencapai
kompromi yang maksimal. sedangkan kompromi sendiri, kedua pihak sama-sama
menang atau win-win, oleh karena itu tidak ada pihak yang kalah atau losing dan
tidak ada yang menang mutlak.
Manfaat
yang paling menonjol, antara lain:
·
Penyelesaian cepat
terwujud (quick).
·
Biaya Murah
(inexpensive)
·
Bersifat Rahasia
(confidential)
·
Bersifat Fair dengan
Metode Kompromi
·
Hubungan kedua belah
pihak kooperatif
·
Hasil yang dicapai
WIN-WIN
·
Tidak Emosional.
5.
Arbitrase
Arbitrase secara umum dapat dilakukan
dalam penyelesaian sengketa publik maupun perdata, namun dalam perkembangannya
arbitrase lebih banyak dipilih untuk menyelesaikan sengketa kontraktual
(perdata). Sengketa perdata dapat digolongkan menjadi:
·
Quality arbitration,
yang menyangkut permasalahan faktual (question of fact) yang dengan sendirinya
memerlukan para arbiter dengan kualifikasi teknis yang tinggi.
·
Technical
arbitration, yang tidak menyangkut permasalahan faktual, sebagaimana halnya
dengan masalah yang timbul dalam dokumen (construction of document) atau
aplikasi ketentuan-ketentuan kontrak.
·
Mixed arbitration,
sengketa mengenai permasalahan faktual dan hukum (question of fact and law).
6.
Perbandingan antara perundingan ,arbitrase dan
ligilitas
a.
Negosiasi atau
perundingan
Negosiasi adalah cara penyelesaian sengketa dimana para
pihak yang bersengketa saling melakukan kompromi untuk menyuarakan
kepentingannya. Dengan cara kompromi tersebut diharapkan akan tercipta win-win
solution dan akan mengakhiri sengketa tersebut secara baik.
b.
Ligitasi
Litigasi adalah sistem penyelesaian sengketa melalui lembaga
peradilan. Sengketa yang terjadi dan diperiksa melalui jalur litigasi akan
diperiksa dan diputus oleh hakim. Melalui sistem ini tidak mungkin akan dicapai
sebuah win-win solution (solusi yang memperhatikan kedua belah pihak) karena
hakim harus menjatuhkan putusan dimana salah satu pihak akan menjadi pihak yang
menang dan pihak lain menjadi pihak yang kalah.
Kebaikan dari sistem
ini adalah:
·
Ruang lingkup
pemeriksaannya yang lebih luas
·
Biaya yang relatif
lebih murah
Sedangkan kelemahan dari sistem ini adalah kurangnya
kepastian hokum Hakim yang “awam”
c.
Arbitrase
Arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa yang mirip
dengan litigasi, hanya saja litigasi ini bisa dikatakan sebagai “litigasi
swasta” Dimana yang memeriksa perkara tersebut bukanlah hakim tetapi seorang
arbiter. Untuk dapat menempuh prosesi arbitrase hal pokok yang harus ada adalah
“klausula arbitrase” di dalam perjanjian yang dibuat sebelum timbul sengketa
akibat perjanjian tersebut, atau “Perjanjian Arbitrase” dalam hal sengketa
tersebut sudah timbul namun tidak ada klausula arbitrase dalam perjanjian
sebelumnya. Klausula arbitrase atau perjanjian arbitrase tersebut berisi bahwa
para pihak akan menyelesaikan sengketa melalui arbitrase sehingga menggugurkan
kewajiban pengadilan untuk memeriksa perkara tersebut. Jika perkara tersebut
tetap diajukan ke Pengadilan maka pengadilan wajib menolak karena perkara
tersebut sudah berada di luar kompetensi pengadilan tersebut akibat adanya
klausula arbitrase atau perjanjian arbitrase.
Beberapa keunggulan
arbitrase dibandingkan litigasi antara lain:
·
Arbitrase relatif
lebih terpercaya karena Arbiter dipilih oleh para pihak yang bersengketa
·
Arbiter merupakan
orang yang ahli di bidangnya sehingga putusan yang dihasilkan akan lebih
cermat.
·
Kepastian Hukum lebih
terjamin karena putusan arbitrase bersifat final dan mengikat para pihak.
Sedangkan
kelemahannya antara lain:
·
Biaya yang relatif
mahal karena honorarium arbiter juga harus ditanggung para pihak
·
Putusan Arbitrase
tidak mempunyai kekuatan eksekutorial sebelum didaftarkan ke Pengadilan Negeri.
·
Ruang lingkup
arbitrase yang terbatas hanya pada sengketa bidang komersial (perdagangan,
ekspor-impor, pasar modal, dan sebagainya).
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar