Rabu, 14 Januari 2015

JOB CREATOR vs JOB SEEKER




Tanpa disadari, dalam diri setiap manusia memiliki jiwa kewirausahaan. Kewirausahaan merupakan proses mengidentifikasi, mengembangkan, dan membawa visi ke dalam kehidupan. Visi tersebut bisa berupa ide inovatif, peluang, cara yang lebih baik dalam menjalankan sesuatu. Hasil akhir dari proses tersebut adalah penciptaan usaha baru yang dibentuk pada kondisi risiko atau ketidakpastian.
Namun, tidak semua manusia dapat mengembangkan jiwa tersebut dengan baik. Tidak jarang orang yang berpikir untuk berkerja di perusahaan yang telah ada. Dengan kata lain, menjadi pegawai atau karyawan pada suatu perusahaan.
Dalam beberapa tahun terakhir ini fenomena yang mengemuka adalah banyaknya lulusan perguruan tinggi yang lebih memilih menjadi pegawai negeri/karyawan swasta (employee) ketimbang membuka lapangan kerja. Sikap mandiri atau berusaha menciptakan pekerjaan dengan tidak menggantungkan harapan untuk bekerja kantoran, atau menjadi Pegawai/karyawan (employee), tampaknya belum akrab dalam benak sebagian besar para calon sarjana. Asumsi yang dibangun adalah bahwa ketika lulus kuliah, kemudian mendapat pekerjaan kantoran, atau menjadi Pegawai/karyawan (employee), akan menjamin masa depan mereka kelak. Padahal kesempatan kerja pada organisasi pemerintahan hanya dibuka setiap tahun, belum lagi sekarang ini telah dihambat dengan adanya moratorium Pegawai Negeri Sipil (Pemberhentian Sementara penerimaan PNS) makin menambah daftar penjang pencari kerja di Indonesia. Bagi mereka yang berminat menjadi PNS dengan tujuan untuk mengisi lowongan mereka yang telah pensiun, meninggal dunia atau keluar dari pekerjaannya nampaknya harus mengurungkan niat mereka untuk beberapa saat.
Jumlah lowongan yang tersedia sangat sedikit jika dibandingkan dengan jumlah yang melamar. Hal ini mendorong adanya persaingan yang sangat ketat diantara para peserta yang mengikuti testing. Semuanya berlomba menjadi yang terbaik agar direkrut. Bagi mereka yang tidak lulus testing akan menambah deretan jumlah angkatan kerja yang semakin bertambah dan bertambah. Pilihan yang diambil tidaklah keliru, tetapi juga tidak sepenuhnya benar. Coba kita tanya kepada para mahasiswa, para calon sarjana tentang rencana mereka setelah lulus kuliah nanti. Akan muncul berbagai jawaban praktis-pragmatis yaitu “mencari kerja”., jika kita cermati lebih jauh hal ini menyiratkan sebuah ketidakpastian. Apakah kita lantas membiarkan mereka terus berusaha mencari pekerjaan, karena, mencari adalah sama dengan belum menemukan sesuatu. Proses mencari tentu memakan waktu yang tidak menentu.
Fakta menunjukkan pilihan yang diambil oleh sebagian besar lulusan kita saat ini lebih banyak menciptakan pengangguran dibandingkan meningkatkan jumlah lapangan kerja. Sebagai akibat dari belum pulihnya iklim investasi, terbatas peluang kerja, dan bertambahnya angkatan kerja baru dari pendidikan diploma dan sarjana sebesar 1,5 juta jiwa hingga 2 juta jiwa per tahunnya maka tidak mengherankan jumlah pengangguran terus bertambah setiap tahunnya.
Sudah saatnya, kita perlu merevitalisasi mindset (pola pikir) seorang lulusan perguruan tinggi dari seorang pencari kerja menjadi seorang pencipta kerja, semangat kewirausahaan harus ditanamkan dalam diri generasi bangsa kita sejak dini. Sikap keragu-raguan, untuk berpindah dari kuadran “employee” ke kuadran “pengusaha/pemilik usaha” harus dihilangkan. Kendati untuk memulai suatu usaha membutuhkan setidaknya keberanian untuk mengexplorasi ide bisnis dan menjadikannya bernilai. Pola pikir yang kita anut selama ini harus diperbaiki secara tepat antara lain :
1) Tidak mempunyai keyakinan, gantikan dengan sebuah keyakinan yang kokoh untuk menjadi yang terbaik
 2) Tidak mempunyai tujuan hidup yang jelas, gantikan dengan menetapkan tujuan hidup yang jelas dan mantap
 3) Tidak mempunyai strategi yang ampuh mengatasi kesulitan hidup, gantikan dengan belajar dari orang lain dan berpikirlah secara komprehensif untuk mengatasi setiap persoalan yang dihadapi
4) Tidak mempunyai rencana yang realistik, gantikan dengan tetapkan rencana yang masuk akal untuk dapat dicapai dalam kurun waktu tertentu dengan cara yang elegan.
Wirausaha dan Kewirausahaan Dalam pandangan penulis, wirausaha adalah seseorang yang mengkombinasikan sumber daya, tenaga kerja, material dan aset-aset lain sehingga nilainya menjadi lebih tinggi dari sebelumnya. Berwirausaha artinya menciptakan sesuatu yang tidak ada menjadi ada dan bermakna bagi manusia melalui tindakan kreatif dan inovatif. Wirausahawan cenderung menggunakan energinya untuk melakukan dan membangun suatu kegiatan. Seorang wirausahawan yang tahu bagaimana menemukan sesuatu, merangkai, dan mengendalikan sumber-sumber (yang kadang-kadang dimiliki oleh orang lain) untuk mewujudkan tujuannya.
Peter F. Drucker, berpendapat bahwa Kewirausahaan merupakan kemampuan dalam menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda. Pengertian ini mengandung maksud bahwa seorang wirausahan adalah orang yang memiliki kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru, berbeda dari yang lain. Atau mampu menciptakan sesuatu yang berbeda dengan yang sudah ada sebelumnya. Zimmerer dan Scarborough, berpendapat kewirausahaan sebagai suatu proses penerapan kreativitas dan inovasi dalam memecahkan persoalan dan menemukan peluang untuk memperbaiki kehidupan (usaha). Salah satu kesimpulan yang bisa ditarik dari berbagai pengertian tersebut adalah bahwa 1. Seorang wirausahawan selalu diharuskan menghadapi resiko atau peluang yang muncul, serta sering dikaitkan dengan tindakan yang kreatif dan innovatif. Wirausahawan adalah orang yang merubah nilai sumber daya, tenaga kerja, bahan dan faktor produksi lainnya menjadi lebih besar daripada sebelumnya dan juga orang yang melakukan perubahan, inovasi dan cara-cara baru. Selain itu, seorang wirausahawan menjalankan peranan manajerial dalam kegiatannya, tetapi manajemen rutin pada operasi yang sedang berjalan tidak digolongkan sebagai kewirausahaan. Seorang individu mungkin menunjukkan fungsi. 2. Kewirausahaan dipandang sebagai fungsi yang mencakup eksploitasi peluangpeluang yang muncul di pasar. Eksploitasi tersebut sebagian besar berhubungan dengan pengarahan dan atau kombinasi input yang produktif. kewirausahaan ketika membentuk sebuah organisasi, tetapi selanjutnya menjalankan fungsi manajerial tanpa menjalankan fungsi kewirausahaannya. Jadi kewirausahaan bias bersifat sementara atau kondisional.
Kewirausahaan adalah proses penciptaan sesuatu yang berbeda nilainya dengan menggunakan usaha dan waktu yang diperlukan, memikul resiko finansial, psikologi dan sosial yang menyertainya, serta menerima balas jasa moneter dan kepuasan pribadi. Lulusan Perguruan Tinggi dan Pilihan menjadi Wirausahawan Keengganan lulusan perguruan tinggi memilih menjadi wirausahawan salah satunya karena terjebak dalam mitos yang terbentuk dan berkembang dalam masyarakat kita bahwa diperlukan modal yang besar untuk memulai suatu usaha, padahal tidak demikian adanya. Memang benar bahwa semua usaha membutuhkan modal untuk bisa berjalan; juga benar bahwa banyak bisnis jatuh karena tidak didukung keuangan yang memadai. Namun ketidakmampuan manajemen, lemahnya pemahaman terhadap persoalan keuangan; investasi yang buruk dan perencanaan yang jelek adalah sejumlah variabel yang menentukan jatuh bangunnya sebuah usaha.Banyak wirausahawan sukses berhasil mengatasi persoalan kekurangan uang dalam menjalankan usahanya dengan cara yang elegan. Bahkan ada wirausahawan yang sanggup memulai usaha dengan kemungkinan berhasil 98% (Tung Desem Waringin, 2005).
Strategi Perubahan Mindset dari Job Seeker menjadi Job creator, antara lain :
1. Keluarga Membangun Kultur berwirausaha Kultur (budaya) berwirausaha suatu keluarga atau suku atau golongan bahkan bangsa sangat berpengaruh terhadap kemunculan wirausaha-wirausaha baru yang tangguh. Kultur berwirausaha tidak dapat ditanamkan dalam sekejap. Memerlukan waktu cukup banyak untuk membangun kultur kewirausahaan Setiap keluarga harus menanamkan jiwa wirausaha sejak dini dalam diri anak-anak mereka. Kultur beberapa suku di Indonesia memang mengagungkan profesi wirausaha sehingga banyak wirausaha tangguh yang berasal dari suku tersebut. Namun secara umum kultur masyarakat Indonesia masih mengagungkan profesi yang relatif “tanpa resiko” misalnya menjadi pegawai negeri, bekerja di perusahaan besar. Pilihan lebih banyak berada para kuadran kanan (Employee. Lihat. Robert Kiyosaki)
2. Penciptaan Iklim Usaha Era krisis moneter yang melanda Indonesia awal tahun 1997 menyebabkan banyak industri besar tumbang, usaha skala kecil sulit tumbuh. Hal ini membuat pemerintah Indonesia kebingungan mengatasinya dikarenakan berkaitan dengan timpangnya struktur usaha (industri) yang terlalu memihak pada industri besar. Peran pemerintah ini juga bukan pada pemberian modal, tetapi lebih pada membina kemampuan industri kecil dan membuat suatu kondisi yang mendorong kemampuan industri kecil dalam mengakses modal, (Pardede, 2000). Atau dengan kata lain, pemerintah harus membina kemampuan industri kecil dalam menghitung modal optimum yang diperlukan, kemampuan menyusun suatu proposal pendanaan ke lembaga-lembaga pemberi modal, serta mengeluarkan kebijakan atau peraturan yang lebih memihak industri kecil dalam pemberian kredit.
3. Pembenahan Dunia Pendidikan Pola pikir para sarjana yang umumnya masih berorientasi untuk menjadi karyawan harus diubah. Oleh Karena itu peran lembaga pendidikan sebagai pusat inkubasi pembentukan manusia Indonesia seutuhnya, perlu di tata kembali. Struktur kurikulum kita yang cenderung menghasil lulusan yang ‘siap pakai’ bukan lulusan yang ‘siap menghasilkan’.
4. Optimalisasi Balai Pelatihan Kewirusahaan Mengoptimalkan balai latihan kerja (BLK). Dengan pengoptimalan BLK maka, kekurangan daya serap perguruan tinggi bisa diantisipasi. Disebutkannya, saat ini BLK belum begitu termanfaatkan untuk mengatasi pengangguran. Begitu pula dengan BLK-BLK, banyak yang belum berkembang dengan baik terutama dalam penyerapan para lulusan untuk masuk ke dunia kerja. "Saat ini, yang saya lihat belum ada perhatian pemerintah untuk pembenahan kearah itu,
 5. Peningkatan akses modal Pemerintah melalui lembaga perbankan dan keuangan diminta membuka akses modal bagi calon wirausaha, karena selama ini mereka masih kesulitan mendapatkannya untuk meningkatkan taraf hidup. 6. Pendampingan calon wirausaha Satu hal yang tidak kalah pentingnya adalah pendampingan yang dilakukan oleh lembaga swadaya masyarakat, perbankan, konsultan, dan stakeholder lainnya sehingga memberikan kemudahan serta pencerahan bagi para calon wirausaha. Seringkali lemahnya pendampingan mengakibatkan modal usaha yang telah dibagikan kepada calon wirausaha, tidak terpakai dengan baik. Para calon wirausaha lebih sering melakukan konsumsi terhadap modal yang diberikan. Akibatnya, modal mereka terpakai habis sedangkan usaha belum dapat berjalan dengan baik. Kesimpulan Membangun semangat kewirausahaan yang tangguh ditengah tengah masyarakat kita yang masih mengantungkan harapan yang tinggi pada pilihan menjadi karyawan seringkali mengalami benturan. Jika kita menginginkan system perekonomian yang kuat maka mau tidak mau kita harus berubah, dengan mengambil pilihan sebagai seorang wirausaha. Wirausaha menyumbang begitu banyak pemasukan bagi bangsa kita, disamping mengurangi pengangguran. Selamat berwirausaha.

Sumber :
http://id.wikipedia.org/wiki/Kewirausahaan
http://en.wikipedia.org/wiki/User:Ricky_Foeh/sandbox

Tidak ada komentar:

Posting Komentar